Jejak Nusantara, Perdagangan Lada di Palembang

JON.com – Palembang merupakan salah satu wilayah di Nusantara yang cukup berpengaruh dalam bidang perdagangan dan pelayaran di masa lalu. Wilayah ini “diberkahi” dengan beragam hasil alam yang dicari oleh para pedagang di dunia dari masa ke masa. Kita bisa sebutkan sejak wilayah ini dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya hingga di awal abad 20 dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda, alam Palembang tidak henti-hentinya memproduksi berbagai komoditas perdagangan yang penting. Misalnya, pada perdagangan di masa lalu ketika dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya, daerah ini terkenal dengan lada, kayu manis, kemenyan, dan hasil-hasil alam lainnya.

Sejarawan maritim terkemuka Indonesia Prof. AB. Lapian dalam bukunya Pelayaran dan Perniagaan di Nusantara Abad 16-17 (2008) pernah mengutip tulisan Ma Huan, seorang pelancong dari Cina yang terkenal dengan catatan perjalanannya, terkesima dengan keadaan Palembang ketika ia datang. Ma Huan mencatat bahwa sebagai sebuah bandar dagang yang berada di dalam daratan, posisi Palembang sangat baik. Untuk memasuki wilayah kota dan pelabuhan, kita perlu melayari sungai dari Muara Selat Bangka. Di samping itu, menurut catatannya pula bahwa selain Palembang merupakan sebuah wilayah yang strategis, juga merupakan bandar dan kaya akan komoditas alam. Ditambahkan oleh Prof. AB. Lapian, tipikal kota bandar dagang seperti Palembang yang memiliki posisi strategis dan wilayah pedalaman yang kaya cukup jarang ada di sekitar wilayah Nusantara (96-97).

Oleh sebab itu, kolaborasi antara posisi yang strategis dan komoditas yang dijual menjadikan nilai tambah Palembang sebagai sebuah kota Pelabuhan yang sudah bereputasi internasional jauh pada masa lalu. Lantas bagaimana lada bisa menjadi salah satu komoditas unggulan yang membawa dampak positif pada pelayaran di Palembang pada abad-abad berikutnya? Simak ulasannya di bawah ini.

Sejarah Palembang: Sejarah Sungai

Jika boleh mengutip sebuah ungkapan fenomenal dari Prof. AB. Lapian yang menjadi judul dari pidato pengukuhan beliau sebagai guru besar, yaitu “Sejarah Nusantara: Sejarah Bahari” (1992), maka hal hampir serupa bisa disematkan esensinya pada sejarah Palembang, yakni Sejarah Palembang: Sejarah Sungai. Hal ini untuk menggambarkan secara sederhana betapa pentingnya keberadaan sungai terhadap kehidupan manusia di Palembang dari masa ke masa.

Kita tidak hanya merujuk bagaimana peranan penting sungai terhadap perdagangan lada saja, tetapi juga pada berbagai periode dan berbagai bidang kehidupan manusia di Palembang. Penulis melakukan riset terkait sejarah sungai yang dituangkan dalam tesis dengan judul “Perdagangan dan Pelayaran di Sungai-Sungai Keresidenan Palembang 1900-1930” (2017). Tidak hanya berbicara mengenai dinamika penggunaan sungai pada berbagai aktivitas ekonomi di awal abad 20, di dalamnya juga dituliskan peran sungai pada masa-masa sebelumnya.

Secara geografis, wilayah Palembang dialiri oleh sungai utama, yaitu Sungai Musi. Sungai Musi mengalir dari hulu di sekitar wilayah Kepahiang (Bengkulu) hingga muaranya di Selat Bangka, memanjang lebih 600 km antara ujung hulu dan hilirnya. Sungai Musi juga merupakan induk atau muara dari sungai-sungai besar lain dan mengalir ke berbagai wilayah di Sumatra bagian selatan. Sungai-sungai memiliki lebar yang cukup untuk dilalui kapal-kapal bertonase besar. Sungai Musi yang melewati bagian tengah Palembang lebarnya bisa mencapai 2 kilometer. Sejauh ini, belum ada data resmi mengenai jumlah sungai kecil di seluruh Palembang. Namun, ada data kolonial menarik yang mencoba menghitung jumlah anak sungai. Di daerah dalam Palembang saja, hingga tahun 1930, anak sungai mencapai lebih dari 300 (Utama, 2017: 28–30).

Dari aspek geografis tersebut, bisa dibayangkan betapa vitalnya fungsi sungai di Palembang. Tidak mengherankan jika pada masa lalu, wilayah Palembang sempat dijuluki Venesia dari Timur. Fungsinya bukan hanya menjadi sarana transportasi saja. Lebih dari itu, sungai menjadi tempat hidup di mana budaya perkotaan tumbuh di pesisir sungai. Dari aspek religi, hampir semua masjid-masjid besar di Palembang dibangun di bantaran sungai. Selain itu, pusat-pusat perekonomian juga dibangun di pinggir sungai. Kita bisa membayangkan bahwa semakin dekat dengan sungai, kita akan semakin dekat pula pada peradaban, tentu saja ini terjadi di Palembang.

Lada Hitam: Emas Hitam dari Palembang

Pada masa itu, muncul istilah emas hitam untuk menggambarkan betapa berharganya lada, terutama di pasaran Eropa. Penamaan dan penyandingan istilah emas juga tidak main-main, mengingat dalam periode tertentu komoditas ini bahkan lebih berharga dari emas. Seorang sejarawan Barbara W. Andaya dalam bukunya Hidup Bersaudara: Sumatera Tenggara pada Abad 17-18 (2016) menuliskan bahwa betapa bernafsunya VOC untuk menguasai kontrak dagang lada dengan Kesultanan Palembang dan Jambi karena mahal dan langkanya lada di Eropa. Barbara juga menuliskan bahwa di Cina dan Eropa, lada lebih banyak digunakan untuk ramuan obat. Sebagai bumbu masak, lada tetap digunakan, tetapi sedikit. Mereka cenderung menggunakan rempah-rempah yang lebih murah, seperti jahe.

Di Eropa, lada terkenal sebagai bahan baku obat bernama Diatrion Pipereon. Obat ini memiliki berbagai khasiat, seperti mencegah masuk angin, meningkatkan nafsu makan, memperkuat ingatan, menjernihkan suara, memperbaiki pendengaran, menyembuhkan encok, dan pegal linu. Reputasi lada sebagai obat mirip dengan istilah “obat dewa”, yaitu obat segala macam penyakit, bahkan ada pendapat yang berkembang jika mengonsumsi obat tersebut, maka tidak perlu bantuan siapapun untuk menjaga kesehatannya.

Di pedalaman Palembang atau yang sering disebut sebagai wilayah Uluan, tanaman ini sangat mudah untuk dikembangkan sehingga produksinya cukup tinggi ketika wilayah ini dikuasai oleh Kesultanan Palembang. Tanaman lada sudah lama ada di wilayah Palembang terutama lada liar (kemukus). Namun, jenis lada hitam baru dibudidayakan sekitar abad ke-15. Lada jenis ini sebenarnya berasal dari Asia Selatan, diperkirakan dibawa oleh pedagang Sumatra dari Malaka yang bertemu pedagang India. Tanaman rempah ini dengan cepat menyebar ke Sumatra termasuk pedalaman Palembang (Uluan). Lada hitam cukup mudah ditanam dan tidak terlalu bergantung dengan temperatur, ketinggian, dan curah hujan. Namun, butuh waktu agak lama untuk memanen tanaman ini. Selain itu, harganya yang cukup mahal dipasaran membuat para petani di Sumatra rela mengganti tanamannya dengan lada hitam (Andaya, 2016: 80–81).

Dari wilayah-wilayah pedalaman, lada kemudian diangkut menggunakan kapal-kapal kecil menuju Palembang. Aliran air di wilayah sekitar hulu sungai cenderung deras sehingga para pengemudi kapal dari Palembang sudah paham betul kapan waktu terbaik untuk berlayar menuju kota bandar Palembang. Waktu paling baik membawa komoditas dari pedalaman adalah ketika musim hujan. Selama musim hujan, debit air akan naik dan membuat mobilitas kapal dan perahu lebih mudah untuk sampai, baik itu menggunakan layar atau dayung menuju ke kota bandar. Ketika musim kemarau, debit air akan jauh berkurang sehingga menghambat pelayaran, bahkan sungai-sungai kecil akan kering tanpa air sama sekali.

Lada dan Konstelasi Politik di Palembang: Berkembangnya Sistem Tiban-Tukon

Salah besar jika hanya menganggap lada sebagai sebuah komoditas perdagangan yang hanya punya pengaruh pada bidang perekonomian saja. Lebih luas dari itu, lada juga memengaruhi konstelasi politik lokal dan internasional di Palembang. Dalam ranah politik lokal, lada menjadi salah satu faktor mulusnya hubungan antara daerah Uluan yang merupakan daerah pedalaman dengan Iliran yang merupakan daerah pusat. Dari aspek yang lebih luas, lada menjadi alat diplomasi yang cukup efektif untuk menghadapi hegemoni kekuatan asing, seperti VOC dan Inggris.

Hubungan antara daerah pedalaman dengan pusat pemerintahan pada kesultanan Palembang ini menghasilkan sebuah sistem yang bernama sistem Tiban-Tukon. Mahsyuri dalam tesisnya yang berjudul “Perdagangan Lada dan Perubahan Sosial Ekonomi di Palembang 1790-1825” (1983) menjabarkan cukup detail bagaimana sistem ini berlangsung. Sistem ini terdiri dari dua aspek perdagangan yang melibatkan komoditas utama lada sebagai bahan trading dalam sistem ini. Pertama, sistem Tiban. Rakyat di pedalaman diwajibkan menanam lada sebagai pengganti pajak terhadap pihak kesultanan. Nantinya, lada-lada yang mereka hasilkan akan ditukar dengan berbagai macam barang yang mereka butuhkan, terutama barang-barang yang berasal dari luar Palembang (barang impor). Sistem yang kedua adalah Tukon. Sistem ini pada dasarnya tetap sama, rakyat akan diwajibkan menanam lada sebagai pengganti pajak terhadap pihak kesultanan. Lada-lada yang dihasilkan kemudian akan dibeli menggunakan uang sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak.

Dari kedua sistem tersebut, terlihat bagaimana pentingnya lada bagi kedua belah pihak. Di satu sisi, pemerintah kesultanan butuh lada sebagai komoditas ekspor yang menjanjikan untuk dijual, sedangkan rakyat menjadikan lada sebagai alat tukar untuk berbagai kebutuhan pokok dan uang yang mereka perlukan. Hubungan simbiosis seperti ini sangat penting untuk menjaga kelangsungan hubungan politis antara wilayah Uluan dan Iliran yang terpisah tersebut.

Lada bisa menjaga hubungan antara Kesultanan Palembang dengan pihak luar terutama VOC. Sebenarnya, hubungan antara Kesultanan Palembang dan VOC mengalami pasang surut terkait dengan perdagangan lada. Keduanya sebenarnya telah menjalin kontrak pada abad 17, tetapi pada pertengahan abad tersebut muncul konflik yang berujung pertempuran antara kedua belah pihak. Salah satu naskah mengenai hal ini didapatkan dari seorang Belanda yang ikut ekspedisi perang ini bernama Johan Nieuhof dalam sebuah artikel berjudul “Belanda Menghancurkan Palembang 1659” (Anthony Reid, 2010). Nieuhof menjelaskan bahwa salah satu alasan VOC menyerang Palembang karena persoalan kontrak lada yang dilanggar oleh Palembang. Pasca kejadian itu, Palembang berusaha untuk tetap menjaga hubungan dengan VOC walaupun dalam aspek tertentu pihak Palembang terutama para pedagang tetap bisa dengan leluasa mengedarkan lada Palembang ke wilayah-wilayah lain.

Salah satu aspek perdagangan yang unik di Palembang adalah para pedagang biasanya dibekali pengetahuan navigasi pelayaran yang cukup mumpuni untuk berdagang di Palembang. Kondisi perairan Palembang yang memiliki banyak sungai dianggap mirip labirin. Pelaut yang tidak terbiasa akan tersesat dan tidak akan pernah menuju kota Palembang yang posisinya berada kurang lebih 100 km setelah masuk dari muara Selat Bangka. Hal ini juga yang kemudian dimanfaatkan oleh para pedagang lada di Palembang. Jadi, walaupun perdagangan lada diawasi dengan ketat oleh VOC, mereka tetap bisa menghindari blokade dan pengawasan dengan memilih rute-rute pelayaran alternatif yang tidak diketahui VOC sehingga lada dari Palembang bisa sampai di Pelabuhan Malaka dan juga pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa (Roelofsz, 1962: 81–91).

Membawa Kemakmuran dari Sungai

Sejak dulu, keberadaan sungai menjadi urat nadi penting bagi proses kehidupan manusia di Palembang. Sungai merupakan panggung sejarah peradaban tempat berkembangnya manusia di sana. Sungai tidak hanya menjadi sarana transportasi yang vital, tetapi juga sarana distribusi barang yang efektif pada masanya. Ibarat jalan raya, sungai menyatukan daerah satu dengan daerah lainnya di Palembang.

Melalui sungai pula, hasil alam Palembang yang sangat berharga bisa dinikmati dunia, terutama lada yang pada abad ke 18-19 menjadi primadona komoditas perdagangan di Palembang. Dari sungai pula, masyarakat Palembang mengenal budaya-budaya dunia yang dibawa melalui aliran sungai. Timbal balik ini merupakan berkah tersendiri mengingat ada banyak daerah lain yang hanya diberkahi oleh satu di antara wilayah strategis atau kaya akan sumber daya alam. Pada masa lalu, Palembang telah membuktikan bahwa wilayah ini diberkahi oleh dua faktor tersebut.

Ditulis oleh Nanda Julian

Editor: Joni Karbot

_________

Sumber Referensi

A.B. Lapian. 1992. Sejarah Nusantara Sejarah Bahari. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.

AB. Lapian. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad 16-17. Depok: Komunitas Bambu.

Anthony Reid (ed). 2010. Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marcopolo Sampai Tan Malaka. Depok: Komunitas Bambu.

Barbara W. Andaya. Hidup Bersaudara: Sumatera Tenggara Pada Abad 17-18. Yogyakarta: Ombak.

Masyhuri. 1983. Perdagangan Lada dan Perubahan Sosial Ekonomi di Palembang 1790-1825. Tesis pada Departemen Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.

Meilink Roelofsz. 1962. Asian Trade And European Influence in Indonesia Archipelago Between 1500 And About 1630. The Hague: Martinus Nijhoff.

Nanda Julian Utama. 2017. Perdagangan dan Pelayaran di Sungai-sungai Keresidenan Palembang. Tesis pada Departemen Ilmu Sejarah Universitas Indonesia